Cerpen
TERJEBAK ILUSI
( Neng Ayu Sawitri)
***
Bisikan halus membelai kalbu
menembus fikiran yang semu
Bertanya diri apa arti semua ini?
Bukan lemah karena lelah
karena lemah perlu dibedah
Tutur bukan soal umur
karena tutur perkara akar yang menjulur
***
Aku terdiam menatap bangunan kokoh yang berdiri tegar puluhan tahun dihadapanku. Membentang dari ujung barat ke ujung timur. Panorama indah terhalang silauan kaca tipis bening menimbulkan efek jera pada bola mataku. Namun tak menjadikan jera melihat keindahannya yang tak tergantikan dengan apapun. Dirinya dapat berdiri kokoh dibawah terik mentari. Fikiranku terhanyut dalam suasana galau yang meradang didadaku. Mengenai sebab kokohnya bangunan tersebut meskipun terpapar teriknya mentari, terguncang adanya petir dan terguyur adanya hujan.
Ku tanya pada diriku sendiri dalam hati mengapa bangunan tersebut dapat berdiri kokoh meski terus dilanda berbagai ancaman? (gumamku dalam hati)
Mmm ku fikir, mungkin karena bangunan tersebut memiliki pondasi yang kuat hingga dapat berdiri kokoh meskipun datangnya berbagai ancaman.
Lantas fikirkupun tiba-tiba mengarahkanku kepada pendidikan, yang akhir-akhir ini tengah menghadapi degradasi. Sama halnya yang dialami bangunan itu. Akhir-akhir ini degradasi seakan menjadi momok bagi kalangan masyarakat. Khususnya degradasi dalam bidang pendidikan kita saat ini.
Dari dulu pendidikan selalu dipermasalahkan dan masalah yang cukup rumit, karena pendidikan merupakan suatu hal yang penting bagi masyarakat. Yang mana dengan pendidikan suatu kaum dapat terbebas dari kegelepan menuju cahaya yang terang benderang demi mewujudkan secercah asa di masa depan. Namun, saat ini yang dipermasalahkan tidak semua dapat mengenyam pendidikan yang layak di sekolah-sekolah. Ada yang ingin sekolah namum uang entah dimana. Ada yang sudah sekolah namun kualitas atau mutu pendidikan yang kurang baik. Soal pendidikan memang tidak hanya serta merta diajarkan di sekolah saja melainkan berawal dari rumah terlebih dahulu. Karena rumah ibarat akar atau pondasi yang dapat menentukan bagaimana seseorang dapat berimajinasi menuangkan fikiran dilingkungan luar yang penuh dengan ancaman dan tantangan.
“Teng...tong... teng...tong...” suara bel masuk berbunyi.
“Duaarrrrrrr....” Ucap Raka dengan lantang dengan sedikit tersenyum mengagetkanku yang berdiri di kantin sekolah.
“Eh kaget tahu..” balasku dengan mimik kaget
“Abis... bel udah bunyi masih ngelamun aja sendirian depan kaca” timpal Raka.
“Siapa coba yang ngelamun aku itu lagi berfikir tentang sesuatu” ujar Panca agak serius.
“Mikirin apaan sih serius amat?” Sambil tertawa kecil
“ Ini loh aku lagi mikirin tentang pendidikan Indonesia yang kini tengah mengalami degradasi”
“ Oohh kirain lagi mikirin apa, yaudah yukk masuk kelas nanti keburu ada guru lohhh!” Raka mengajakku.
“Yaudah yukk”
Akupun berjalan menuju kelas dengan agak cepat, karena kelasku terletak digedung A (gedung lama) sehingga tidak ada lift. Raka dan aku harus menaiki beberapa anak tangga agar bisa sampai dikelas. Dan itu sangat-sangat menguras tenaga kami.
***
Anak-anak berkicau dikelas sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang main gadget, baca buku, ngobrol-ngobrol asik, ngerjain tugas dan lain-lain. Tiba-tiba guru datang. Semua langsung diam karena guru ini dinilai sangat disiplin dan tegas namun baik hati.
“Assalamu’alaikum...”sambil berjalan mengarah ke meja guru sembari menyimpan buku-buku yang dibawanya.
“Wa’alaikumussalam....” Jawab siswa secara lantang dan bersamaan.
“Bagaimana kabarnya hari ini?”
“ Baik bu....”
“ Sebelum kita mulai pembelajaran hari ini, siapa yang udah lihat berita terbaru hari ini? Tanya Bu Susi.
“Banyak sekali yang mengangkat tangan, berarti hampir semua nonton berita yaahh?” Tanya Bu Susi sambil sedikit senyum.
“ Iya donk bu... sekarang kan zaman modern kita bisa lihat berita terbaru dimana saja dan kapan saja via sosial media” jawab salah seorang siswa
“ Berarti makin pintar aja yaa kalau gitu?”
“ iya donk bu....” Jawab salah seorang siswa.
“ Yaudah karena banyak yang ingin menjawab ibu tunjuk saja ya...Vivi coba?
“ Saya Bu....” Ujar Vivi sambil mengangkat tangan.
“ Iya vi.. coba kamu beritahukan apa isu terbaru yang kamu ketahui,”
“ Sekarang ini lagi viral mengenai merdeka belajar dan penghapusan Ujian Nasional bu yang kata mas menteri baru” sambil tertawa.
“ Iya memang benar berita tersebut lagi viral-viralnya, menurut pendapat kalian gimana?”
“Saya sangat setuju bu, karena adanya program merdeka belajar ini mungkin dapat meredam adanya degradasi pendidikan yang ada saat ini terus kita tidak terlalu was-was karena tidak ada ujian.”
Para siswa dan guru melakukan perdebatan yang amat sengit mengenai berita yang beredar ini, ada kalangan yang pro dan ada juga yang kontra.
Mereka yang pro karena menganggap adanya sistem merdeka belajar ini dapat berguna bagi masyarakat. Sehingga dengan adanya kemerdekaan itu rasa tanggung jawabnya semakin meningkat dan merekapun harus mencari cara sendiri untuk memberikan penilaian tersebut. Mungkin dengan adanya sistem ini dapat meredam degradasi pendidikan di Indonesia. Karena jka ingin pendidikan Indonesia maju maka harus lebih nekat lagi dalam merombak sistem pendidikan.
Mereka yang kontra dengan adanya sistem merdeka belajar ini berbendapat bahwa dengan adanya sistem ini, bukan jadi memajukan atau menghilangkan degradasi pendidikan. Melainkan memperparah situasi karena program ini belum teruji secara nyata. Serta kualitas atau mutu pendidikan itu ditentukan dengan adanaya Ujian Nasional sendiri.
“Baik anak-anak, setiap orang memiliki persepsinya masing-masing mengenai sistem baru yang dibuat oleh menteri baru kita Nadiem Makarim. Kita bisa saja menyetujui atau menolak keputusan sistem tersebut. Tapi tetap keputusannya ditentukan oleh kaum pemerintah yang berwenang.”
“Iya bu, seringkali kita bersuara, namun suara kita tidak cukup kuat untuk disuarakan sehingga suara dari kaum masyarakat hanyalah angin yang berlalu, ibaratnya hanya numpang lewat gitu bu,” ujarku.
Ketika pendidikan disuguhkan dengan berbagai polemik yang begitu rumit, suatu sistem pendidikan yang dituduh menjadi akarnya.
“Bu saya mau bertanya, lantas akar dari pendidikan sendiri itu apa?” Tanya Rita.
“ Akar suatu pendidikan itu adalah sistem pendidikan itu sendiri, jika sistemnya bagus maka pendidikan pun berjalan baiak begitupula sebaliknya. Hal itulah yang menyebabkan adanya degradasi pendidikan yang saat ini sedang dihadapi oleh masyarakat.”Jelas bu Susi.
“Rumit sekali ya bu pendidikan di Indonesia ini hingga dapat menimbulkan degradasi,” sanggah Raka.
“ Memang benar masalah pendidikan ini cukup rumit sehingga menimbulkan degradasi atau penurunan kualitas pendidikan. Degradasi sendiri dapat diakibatkan oleh berbagai aspek bisa dari faktor eksternal maupun internal. Faktor eksternal ini dari adanya degradasi yaitu sistem pendidikan yang belum terarah dan sesuai dengan masyarakat Indonesia sendiri. Faktor internal berasal dari dirinya sendiri, dimana dirinya belum memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan dan belum mampu atau belum siap dalam menghadapi berbagai ancaman dan tantangan dari luar. Sehingga timbullah degradasi pendidikan.” Jawab Bu Susi secara santai dan tegas.
“Teng...tong... teng...tong....” Suara bel istirahat berbunyi.
“Baiklah anak-anak pembelajaran kita akhiri sampai disini dulu, mengingat jam pelajaran sudah habis. Untuk tugas minggu depan ungkapkan pemikiran kalian mengenai degradasi pendidikan dan bagaimana cara mengatasinya seperti yang sudah dijelaskan tadi dalam bentuk artikel jangan lupa sertakan referensi sebagai tambahannya. Terima Kasih. Assalamu’alaikum wr.wb....”
“Wa’alaikumsalam wr.wb” jawab semua siswa dengan serentak.
“Raka nyari referensi buat tugas, ke perpustakaan yuk sambil baca-baca!” Aku mengajak Raka yang tengah asik dengan game yang dimainkannya.
“Ayo yo bentar lagi tanggung,” jawab Raka yang fokus terhadap gadgetnya.
“ Ayo nanti keburu masuk lagi” ujarku sambil menarik tangan Raka.
“ Iya ayo ayo deh padahal dikit lagi nih,” balas Raka dengan wajah agak kesal.
***
Dikala hati belum tergerak
Ia sudah membuka jarak
Dikala hati telah tergerak
Namun ia telah menutup jarak
Bersuara hanyalah dianggap angin lalu
Tak bersuarapun dianggap tak mampu
Lalu, bagaimana pendidikan ini bisa maju
Jika dan hanya jika
Masyarakatnya enggan bersatu
Pendidikan ini hak bersama,
Namun, hanya angan bagi yang belum bermakna
Mereka mampu mengungkap kata
Namun uang tak dapat berkata
Bak kata politikus
Ada pulus semua mulus
***
Perpustakaan adalah salah satu tempat yang belum ternodai dengan berbagai polemik yang kian merebak. Sejatinya perpustakaan adalah gudangnya ilmu. Dengan adanya perpustakaan kita dapat mngetahui berbagai pengetahuan yang belum pernah kita ketahui. Adanya perpustakaan sendiri dapat memberikan pertimbangan pemikiran mengenai suatu hal. Karena didalamnya terdapat berbagai kisah hidup para tokoh ilmuan sains dan agama sukses dan terpandang menginspirasi jutaan ummat manusia.
“Kamu nyari bukunya di rak yang mana nih?” tanya Raka.
“Cari aja satu-satu antara rak PPKn sama Bahasa Indonesia,” jawabku sambil memilih-milih buku yang akan dijadikan referensi olehnya.
Mereka sibuk mencari buku-buku yang akan dijadikan sebagai acuan dalam merampungkan tugasnya. Raka menelusuri rak yang disarankan Panca. Sedangkan aku menelusuri satu persatu rak buku yang tertata rapi dengan apik.
“Aku udah nemu nih beberapa buku, kamu udah nemu belum?” tanya Raka.
“ Bentar, ambil beberapa buku lagi,” jawabku yang kerepotan membawa buku yang sudah setumpuk hingga ia kerepotan.
“ Dasar si kutu buku padahal buku yang dipegang udah segunung,” menghela nafas.
Mereka membaca sebagian dari bukunya dan sebagian lagi mereka pinjam dan bawa kerumah.
Ku buka perlahan buku yang telah kupilih yang kuanggap menarik untuk dibaca dan ada kaitannya dengan tugas yang Bu Susi berikan. Pikiranku mulai terhanyut suasana dalam buku yang ku baca.
Semua orang memiliki hak dalam pendidikan, baik itu si kaya maupun miskin. Karena pada dasarnya hal tersebut telah diatur dalam pembukaan undang-undang 1945 pada alinea ke-4. ...”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Namun pada kenyataannya hal itu belum terealisasikan sepenuhnya di masyarakat. Banyak masyarakat yang belum mendapatkan pendidikan secara utuh, karena belum adanya pemerataan pendidikan pada suatu daerah.
Akupun lantas berfikir Presiden ingin memindahkan ibu kota baru yang terletak di Kalimantan. Karena ia berbendapat bahwa dengan pindahnya ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan dapat meringankan beban kota Jakarta, yang dianggap memiliki daya pikul yang besar. Kalimantan dipilih karena terletak ditengah-tengah plau Indonesia.
Namun, Jika difikirkan lagi apakah dengan ibu kota pindah ke Kalimantan Masalah akan beres? Tidak semudah itu. Justru dengan adanya perpindahan tersebut mengucurkan triliunan dana dalam proses pembangunan ibu kota baru itu. Daripada buat itu mending yang lebih utama dananya direalisasikan kepada masyarakat, seperti pemerataan pendidikan agar semua mendapatkan pendidikan yang layak, membuka lapangan kerja baru, melunasi hutang-hutang baik ke dalam maupun luar negeri.
Aku bertanya pada diriku sendiri apa yang harus kulakukan saat ini? Perasaan bingungpun menghantuiku. Yang pasti saat ini aku harus belajar dengan sungguh-sungguh, karena di masa mendatang para generasi milleniallah yang akan meneruskan memimpin dan membangun negeri ini.
“Raka kamu tau beban kita sangatlah berat sebagai generasi bangsa ini?” bisikku kepada Raka yang tengah asik dengan bukunya.
“Tentu, menurutku beban kita sangatlah berat, kita akan melanjutkan pimpinan negeri ini dimasa mendatang. Kita ini dituntut untuk hal itu, namun kualitas dan mutu pendidikan saat ini tengah mengalami penurunan. Hal tersebut menjadi penghambat dari kemajuan pendidikan itu sendiri” jawab Raka dengan tegas.
Raka dan Aku bergegas pergi ke kelas untuk menyelesaikan pembelajaran terakhir pada hari ini. Seperti biasanya setelah pelajaran selesai mereka bergegas untuk pulang, karena pelajaran sampai sore. Mereka pulang berama naik bus karena rumah mereka lumayan agak jauh. Mereka menunggu di halte bus pinggir sekolah.
Beberapa selang menit bus yang akan mereka tumpangi tak kunjung datang, sedangkan hari sudah mulai gelap. Ditambah dengan hujan rintik-rintik yang semakin lama menjadi deras. Ku tarik jaketku perlahan dari dalam tas hitamku yang ku rangkul sedari tadi, karena ku mulai merasakan kedinginan yang amat sangat dingin. Hingga menusuk kulit dagingku sampai-sampai aku menggigil tak kepalang. Kebetulan pada saat itu sangatlah sepi karena anak-anak yang lain sudah pada pulang. Hanya aku dan Panca yang duduk disana.
Dari kejauhan samar-samar aku dan Raka melihat sesosok perempuan yang tengah berlari menghampiri ditengah hujan yang sangat deras. Ternyata ia adalah ibu penjual minuman yang berjualan dipinggir sekolah. Kita pun sangat suka dengan kopi susu buatannya karena sangat lezat. Hingga hampir tiap pagi aku suka membelinya.
“Ehh kalian belum pulang toh?” tanya Ibu penjual kopi itu sambil menyimpan dagannya.
“Iya bu, tumben-tumbenan busnya agak telat, biasanya jam 05.00 bus sudah stay disini tapi ini belum, apa karena ujan ya bu?” timpal Raka.
“Mungkin busnya mogok,” balasnya agak sedikit tersenyum.
“ O iya bu, kopi susunya masih ada?” tanya Raka.
“ Masih dek kebetulan belum habis, ? jawabnya.
“Pesan dua ya bu buat kita biasa....”
“ Siap dek tunggu sebentar,” sambil mengambil racikan yang akan dibuat.
Sambil menikmati kopi susu ditengah hujan yang cukup deras membuat badan terasa lebih hangat dari sebelumnya. Kitapun menikmati seduhan kopi yang telah di racik Bu Darmi seteguk demi teguk dengan penuh kelezatan.
Tak terasa hujan mulai reda, namun bus tak kunjung datang.
“Berapa bu?” tanya Raka.
“Enam ribu aja dek, “ jawab Bu Darmi.
“ini bu makasih yaa”
“sama-sama dek” sambil membereskan gelas-gelas tadi.
“ Ibu pulang duluan ya ujannya mulai reda, takut nanti hujan lagi hati-hati ya,” ujar Bu Darmi.
“ Iya bu, “pungkas mereka.
Tidak lama kemudian akhirnya bus yang ditunggu-tunggu datang juga. Kitapun segera naik bus. Biasanya bus selalu penuh dengan penumpang yang kebanyakan pelajar. Sampai-sampai kita nggak kebagian tempat duduk. Tapi sekarang sangat sepi hanya ada beberapa orang saja didalamnya.
“Tumben telat pak?” tanya pada pak sopir.
“Iya nih nunggu penuh dulu penumpangnya, ini juga dapet segini,” jawab pak sopir yang terlihat letih.
Kitapun segera mencari bangku kosong untuk diduduki, kita pilih bangku depan agar mudah keluarnya. Setelah kita masuk bus hujan turun lagi, “untung sudah ada di bus” bisikku dalam hati.
Merekapun duduk dikursi mengeluarkan gadgetnya masing-masing. Raka bermain game sedangkan Aku mendengarkan lantunan musik yang membuat hati menjadi tenang.
When you've been fighting for it all your life
You've been struggling to make things right
That’s how a superhero learns to fly
Every day, every hour
Turn the pain into power
When you've been fighting for it all your life
You've been working every day and night
That's how a superhero learns to fly
Every day, every hour
Turn the pain into power
(Superheroes-The Script)
***
“ckittttttt....” Suara rem bus.
Kamipun sudah sampai di kampung halaman. Tempat nyaman yang tak terganti. Raka berjalan belok kanan kearah rumahnya dan aku berjalan lurus untuk sampai dirumahku.
Untuk sampai dirumahku harus melewati beberapa tempat. Dimulai dari yang ramai hingga melewati jembatan gantung yang jaraknya lumayan jauh dari tempat pemberhentian bus tadi.
Biasanya jam-jam segini masih banyak orang yang berkeliaran diluar rumah melakukan berbagai aktivitas. Seperti anak-anak muda yang nongkrong di pos ronda, para pedagang keliling yang sekali-kali lewat kearah sini dan aktivitas lain. Namun, kali ini tidak seperti biasanya jalanan yang biasanya ramai dengan aktivitas masyarakat, hari ini sangat sepi sekali bahkan para pedagang yang biasanya nangkring disinipun tidak kelihatan satupun batang hidungnya.
Kulihat jam tangan baruku hadiah ulang tahun dari ayahku yang kupakai ditangan kiriku. “Ini masih jam setengah tujuh malam, kok udah sepi ya?” ujarku dalam hati.
Aku mulai merasa amat sangat kedinginan, padahal tubuhku sudah diselimuti jaket yang cukup tebal. Ku tengok kanan kiriku hanya ditemani bayangan yang selalu setia mendampingiku dimanapun aku berada. Diterangi oleh cahaya lampu disetiap pinggir jalan.
Fikiranku mulai gelisah saat aku mulai menapakkan kakiku di jembatan gantung yang panjangnya kurang lebih dua puluh meter. Kutundukkan kepalaku dan kuarahkan mataku hanya fokus kedepan melihat jalan.
Tiba-tiba aku mendengar sesuatu dibalik semak-semak ujung jembatan. “kruskkkk...krusuuukkk...krusukkkk” kucoba untuk tenang. “Tarik nafas dalam-dalam huuuft...keluarkan perlahan huuuftt....” Kucoba dekati semak-semak secara perlahan.
“Plak...Plukkk....” suara sepatuku.
Tiba-tiba...”Huaaaaaaa....” Aku berteriak.
Ternyata ada seekor anjing bersembunyi disana. Anjing itupun mulai keluar dan mengejar-ngejarku karena mendengar teriakanku.
“Huhh...Huuuhh...huhhhh....” aku berlari sekencang mungkin yang kubisa. Untung rumahku cukup dekat dari jembatan tadi.
Akupun sampai di rumahku dan segera masuk kedalam lalu ku tutup dan kukunci pagar rumahku. Huuuuhhh... akhirnya sampai juga.
Dengan nafas terengah-engah ku ketuk pintu rumahku.
“Tok...Tok...Tok....”
“Assalamu’alaikum bu,” ujarku.
“Wa’alaikumsalam, kenapa ko kaya abis lari marathon aja? Tanya ibu penasaran.
“Nanti aku ceritain bu didalam,” pungkasku.
“Ayo masuk!” perintah ibu.“Bentar ibu ambilkan dulu minum, kelihatannya kamu cape ya,”
Ibu menyodorkan segelas air putih untukku. Akupun langsung meminumnya.
“Jadi gimana?” tanya ibu.
“ Jadi, tadi dijalan sepi banget terus pas ngelewatin jembatan aku mulai merinding karena disemak ada suara aneh, pas aku lewat sana tiba-tiba seekor anjing muncul dari semak-semak akupun kaget dan otomatis aku teriak lalu anjing itu mengejarku sampai rumah, untung saja aku bisa lari kenceng. Jadi ya gitu sekarang udah sampe rumah.
“Oooh gitu ,” timpal ibuku yang khusyu menyimak ceritaku. “ Yaudah kalau udah tenangan sana bersih-bersih dulu, nanti abis itu kita makan,” ajaknya
“Iya bu, aku ke kamar dulu ya mau bersih-bersih,” ujarku sambil berjalan menuju kamar.
Setelah bersih-bersih akupun sholat maghrib, dan setelah itu aku bergegas ke ruang makan. Karena perutku sudah keroncongan sedari tadi menahan lapar saat dikejar anjing. Di meja makan, hidangan favoritku sudah disediakan oleh ibuku. Aku suka makan ikan karena ikan memiliki banyak vitamin yang dapat mencerdaskan otak. Aku dan Ibuku makan makanan yang sudah disiapkan dari tadi sore. Kami makan berdua karena kebetuan ayahku lagi dinas ke luar kota.
“Enak sekali bu masakannya,” ujarnya sambil makan dan terlihat sangat kelaparan.
“Inikan makanan kesukaanmu, masaknyapun dengan penuh cinta,” ujar ibu.
“Rasa ketakutanku mulai hilang setelah menyantap masakan ibu,” ujarku.“
“ Bisa aja kalo lagi lapermah,” ketawa kecil. “ Oh ya tadi belajar apa di sekolah?” tanya ibu
“Tadi aku belajar soal pendidikan bu, topiknya sangat seru,” timpalku.
“Iya topik itu dari dulu memang seru, sekarang selesikan makan dulu nanti cerita lagi” ujar ibu.
“Ohokkk...ohokk....” aku tersedak
“Tuh kan makannya kalo lagi makan jangan banyak bicara nanti tersedak, ini cepat minum.” Sambil menyodorkan segelas air putih kepadanya.
Aku pun menyantap makanan hingga kenyang. Setelah itu, aku membantu ibu membereskan piring-kotor ini. Setelah semua rapih aku langsung bergegas ke kamar untuk mengerjakan tugas-tugasku yang cukup banyak.
Perlahan kucoba lupakan masalah ya mungkin cukup mengerikan bagiku. Kucoba fokus pada pelajaran yang akan ku pelajari. Ku keluarkan buku-buku dan peralatan tulis agar aku bisa mengerjakan tugasku dengan cepat. Ku buka buku-buku yang tadi aku pinjam dari perpustakaan. Ku baca kata demi kata yang membuatku tertarik dan berasa masuk kedalamnya.
“Ditengah kemelutnya pendidikan, ku berusaha agar tak menjadi beban yang akan menambah penderitaan. Degradasi pendidikan ini harus dapat terselesaikan dari akarnya terlebih dulu. Karena jika akarnya kokoh maka batangnya pun akan kokoh. Aku beranggapan apakah sistem yang akan digunakan tahun yang akan datang berefek baik kedepannya,” ucapku dalam hati
“Menurutku pendidikan merupakan suatu komunikasi antarpribadi. Karena dengan komunikasi tersebut adanya pemanusiaan manusia menjadi manusia muda yang mampu menghadapi segala macam ancaman dan tantangan yang ada di sekitar, serta dapat mengembangkan dirinya menjadi sesorang yang lebih baik lagi.”
“Aku tahu karena setiap permasalahan pasti ada jalan keluarnya. Namun tidak serta merta langsung secara instant kaya mie instan. Mie instant juga perlu direbus agar dapat dinikmati rasanya. Bicara soal pendidikan bukan soal yang gampang karena bukan saja melibatkan diri sendiri saja. Tapi, memiliki kaitannya dengan orang banyak. Setiap orang berhak atas pendidikan yang layak,”
“Lantas aku berfikir lagi, setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Jangan salahkan orang karena kekurangannya. Mungkin saja ia telah berusaha menutupi sedikit dari kekurangannya, meskipun tidak semuanya. Karena orang lain tidak tahu apa yang telah kita perbuat untuk memperbaiki semua ini. Begitu juga halnya pemerintah, mungkin mereka telah berjuang dalam membuat suatu sistem kebijakan pemerintah dalam mengatasi degradasi pendidikan saat ini. Namun kembali lagi kepada hakekatnya manusia yang punya kekurangan.”
***
Aku ialah aku
Dengan segala kekurangan dan kelebihanku
Banyak yang menuntutku sempurna
Aku ingin sempurna
Namun yang maha sempurna Allah swt.
Kita dituntut untuk berkualitas
Namun kebijakannya pun tak berkelas
Hingga kita sendiri bangkit tanpa batas
Karena hidup ini deras dan keras
Usaha memang ada terus
Karena hidup itu penuh proses
Degradasi itu kasus
Karena itu harus di urus
Elit politik terus berjuang
Kita pun harus berjuang
Meningkatkan pendidikan yang telah terserang
Oleh ancaman dan tantangan yang mengekang
Bukan hanya orang-orang,
Bukan hanya kebijakan yang dipandang,
Tapi, diri yang terkekang yang perlu diserang
***
Ku amati disekelilingku banyaknya kerumunan masa. Mereka membawa berbagai senjata tajam dan bermacam-macam spanduk yang bertuliskan protes dari banyaknya orang untuk sekolah lain. “Just fair” ,”Curang.....curang”, “Kamilah pemenangnya” “Kemenangan dusta” begitulah kata-kata yang kubaca dari beberapa spanduk yang diacung-acungkan oleh mereka. Entah apa tujuan mereka seperti itu. Aku baru tersadar ternyata aku berada diantara orang-orang yang tengah melakukan tawuran.
Ku amati baik-baik pakaiannya ternyata mereka adalah seorang pelajar. Aku terjebak oleh aksi ini. Ku coba berlari kesana kemari mencari ujung dan jalan keluar dari tawuran ini namun tak kunjung bertemu. Karena hampir seluruh lapangan ingin bak lautan massa.
Dari kejauhan aku melihat sesosok wanita yang bersandar di tembok dan kelihatannya dia terluka. Aku datang menghampirinya sambil bertanya-tanya semua ini.
“Hai.....” ujarku agak sedikit ketakutan.
“Huuhh iya,” ujarnya sembari memegang tangannya yang terluka akibat goresan pisau.
“Apa yang sedang kamu lakukan disini?” tanyaku.
“Kami sedang melakukan aksi balas dendam,” pungkasnya.
“Balas dendam? Memangnya apa yang terjadi?” tanyaku semakin penasaran.
“Dulu sekolah kami SMA Nusantara dan SMA Pelita bersahabat. Pada waktu itu, pemerintah kabupaten mengadakan lomba memperingati hari jadi kabupaten yang ke-100. Sekolah kami menjadi saingan dari SMA Pelita, dan sekolah Pelitalah yang memenangkan perlombaan. Ada diantara siswa dari sekolah kami yang melihat kecurangan yang tidak lagi dapat ditoleran dan dilakukan oleh SMA Pelita. Otomatis dari kejadian itu kami selaku siswa tidak langsung menerima semua hal ini. Meskipun pihak sekolah sendiri tidak mempersalahkan “because this a competition” ucap salah seorang guru pelatih futsal.”
(Aku mengangguk angguk namun belum paham sepenuhnya)
“Iya aku tahu this competition, but not fair. Saat tim kami mencoba untuk mencetak gol tiba-tiba ada pancaran sinar laser yang menuju bola mata pemain kami. Hal itu pun tidak terjadi sekali bahkan berkali-kali. Sehingga kami sampai pada puncak kemarahan kami.” Tegas perempuan itu.
“Lantas kenapa sampai nekat tawuran begini?” tanyaku semakin menggebu-gebu.
“Sesaat setelah pertandingan selesai, salah satu pemain kami bermasalah dengan matanya karena terus-terusan terpapar sinar lensa. Hingga ia tak dapat masuk sekolah beberapa hari. Setelah beberapa hari kami mendapat kabar bahwa dirinya telah mengalami kebutaan, dan hal itu membuat amarah kami semakin menggebu-gebu. Saat itulah tawuran dimulai,” ucapnya secara jelas.
“Ooh begitu, ternyata karena kecurangan ya,, kenapa nggak coba selesaikan masalah ini dengan kekeluargaan?” aku bertanya sambil menjulurkan kakiku yang terasa pegal sedari tadi jongkok.
“Awalnya memang kami bicara baik-baik, namun mereka tidak mau diajak baik-baik dan akhirnya yaaa beginilahh..” ujar wanita itu.
Aku menghela nafas sambil menyenderkan tubuh ke tembok dan berkata dalam hati” Kekerasan ini tiada hentinya, bahkan menurutku hanya masalah sepele yang mungkin tidak perlu dipermasalahkan. Hal ini terjadi karena sistem pendidikan yang bermasalah sehingga kekeliruan itu menimbulkan banyaknya tawuran yang terjadi”
“ Sistem pendidikan saat ini menekankan pada nilai bukan pada seberapa besar usaha kita. Hal itu menyebabkan stress, depresi, dan beban bagi pelajar. Sehingga pendidikan dianggap mengalami degradasi, karena belum bisa membangun karakter anak bangsa. Triliunan dana yang dikucurkan pemerintah untuk memenuhi anggaran pendidikan sepertinya belum bisa memecahkan permasalahan mendasar di dunia pendidikan, yaitu bagaimana suatu pendikan dapat mencetak generasi penerus yang berkarakter” ucapku dalam hati sambil membantu mengobati luka wanita itu.
“Nah..udah selesai,” ujarku kepadanya.
“Terima Kasih telah mengobatiku,”
“ Ahh iya sama-sama,” sambil tersenyum
“Aduhh.....” tiba-tiba kepalaku sakit. Sepertinya ada yang melempar batu ke kepalaku sampai-sampai aku tak sadarkan diri.
“Kring....kringggg....kringggg...” suara alarmku berbunyi keras
Aku pun tiba-tiba terbangun dengan rasa kaget ” huuuh....huuuuhhh.....ternyata ini Cuma mimpi, tapi kaya nyata ya,” ujarku sambil meneguk segelas air yang ada dimeja belajarku.
Aku terbuai berlarut-larut didalamnya hingga aku tak sadar bahwa aku tengah tertidur lelap. Dan itu adalah imajinasiku saat ku berada di ruang mimpi.
***
Kucoba mencari jalan
Memecahkan masalah
Yang pelik dan penuh lika-liku
Kucoba cari...
Menelusuri kedalam ruang imajinasiku
Namun imajinasiku terjebak berlarut-larut
Hingga aku sadar ini hanyalah khayalan
***
“ Pendidikan tak hanya tugas seorang pendidik ataupun pengajar, melainkan tanggung jawab bersama-sama. Keluarga serta masyarakat harus terjun bersama kedalamnya. Tanpa mereka masuk kedalamnya mereka tidak akan tahu bagaimana prosesnya. Karena pendidikan ada bukan hanya untuk orang berada. Namun untuk membina para penerus bangsa tanpa memandang siapa dia.”
“Degradasi pendidikan memang sebuah masalah yang perlu dipecah dari akarnya, bukan hanya elit pemerintah yang menjadi akar dari permasalahan tapi pandanglah bagaimana dengan diri ini. Kita adalah generasi penerus bangsa yang akan memimpin negara ini beberapa tahun yang akan mendatang. Karena itu, kita selau menuntut pendidikan yang berkualitas. Namun pemerintahan tidak bergerak sesuai prioritas.”
Komentar
Posting Komentar